Pages

Kamis, 30 Mei 2013

Keadaan Terkini Agama Buddha di Dunia (1996)


Agama Buddha Theravada Asia Selatan dan Tenggara

Sri Lanka

Saat ini, agama Buddha tumbuh mekar di beberapa negara dan menghadapi kesukaran di negara lainnya. Theravada, contohnya, merupakan yang terkuat di Sri Lanka, Thailand, dan Burma (Myanmar), tapi melemah parah di Laos, Kamboja, dan Vietnam. Dari abad ke-16 sampai ke-19, agama Buddha mengalami kemunduran di Sri Lanka karena penganiayaan, pertama oleh Inkuisisi dan kemudian oleh para misionaris dari negara penjajahnya yang Kristen. Agama Buddha dipulihkan di akhir abad ke-19 dengan bantuan para cendekiawan dan ahli teosufi Britania. Hasilnya, agama Buddha Sri Lanka kadang dicirikan sebagai Buddha “Protestan”, dengan penekanan pada kajian cendekia, kegiatan pelayanan oleh para biksu bagi masyarakat awam, dan laku meditasi langsung bagi orang awam, tidak cuma bagi mereka yang berjubah. Umat awam memiliki iman yang luar biasa, tapi kadangkala mengeluhkan samarnya keseimbangan antara kajian dan praktik yang dilakukan oleh para biksu.

Indonesia dan Malaysia

Para biksu Sri Lanka telah membantu memulihkan agama Buddha Theravada di Bali, beberapa wilayah lain di Indonesia, dan Malaysia, tempat agama tersebut perlahan mati-lemas di akhir abad ke-15. Ini dilakukan pada skala yang sangat terbatas. Di Bali, mereka yang berminat adalah para pengikut campuran tradisional agama Hindu, Buddha, dan aliran kepercayaan setempat, sementara di wilayah lain di Indonesia dan Malaysia, peminatnya merupakan masyarakat Cina pendatang yang menganut Buddha Mahayana. Ada juga beberapa aliran kecil penganut Buddha di Indonesia yang merupakan percampuran unsur-unsur Theravada, Cina, dan Tibet.
Menurut kebijakan “Pancasila” pemerintah Indonesia, semua agama harus meyakini adanya Tuhan. Walau tidak menyatakan Tuhan sebagai sosok berwujud dan, karenanya, kadang dicirikan sebagai agama ateistis, agama Buddha diakui secara resmi di Indonesia karena penegasannya akan Adibuddha; yang secara harfiah bermakna “Buddha Pertama”, dan dibahas di dalamTantra Kalacakra, yang berkembang di Indonesia seribu tahun yang lalu. AdiBuddha adalah pencipta mahatahu dari segala yang nampak, melampaui waktu, kata, dan batas lainnya. Walau dilambangkan dengan sosok simbolis, AdiBuddha sendiri sebetulnya bukanlah sosok. Ia lebih nirwujud dan ditemukan dalam diri semua makhluk sebagai sifat cita bercahaya jernih. Atas landasan ini, agama Buddha diterima, bersama dengan Islam, Hindu, dan Kristen Katolik dan Protestan, sebagai lima agama negara Indonesia.

India

Agama Buddha perlahan memudar di wilayah India sub-Himalaya kira-kira sejak abad ke-17. Akan tetapi, pada akhir abad ke-19, orang Sri Lanka, dengan bantuan para cendekiawan Britania, mendirikan Masyarakat Maha Bodhi untuk memulihkan situs-situs perziarahan suci umat Buddha di India. Mereka sangat berhasil dan kini memiliki banyak wihara dengan para biksu di tiap situs itu, sebagaimana beberapa aliran Buddha lainnya.
Pada 1950-an, Ambedkar memulai sebuah gerakan Buddha-baru di antara kaum tak-tersentuh di India bagian selatan. Ratusan ribu orang bergabung, kebanyakan untuk menghindari cap buruk golongan kasta terendah. Gerakan ini menekankan pada pemerolehan hak-hak politik dan sosial bagi kaum tersebut. Ambedkar meninggal tak lama setelah mendirikan gerakan pemulihan ini. Sejak saat itu, gerakan ini dikepalai oleh Sangharakshita, seorang laki-laki Inggris yang mendirikan Mitra dari Ordo Buddha Barat (Friends of the Western Buddhist Order) sebagai bentuk baru agama Buddha, yang secara khusus dirancang bagi pelaku ajaran Buddha dari Barat.

Thailand

Di Thailand, karena dipengaruhi oleh model kerajaan Thai, masyarakat wihara Buddha memiliki seorang Bapa Agung dan sebuah Dewan Tetua yang bertanggung jawab menjaga kemurnian tata-cara. Ada dua jenis masyarakat wihara: mereka yang bermukim di hutan dan mereka yang tinggal di desa. Keduanya sangat dihormati dan didukung oleh masyarakat awam. Aliran hutan biksu fakir yang kental hidup di rimba terpencil dan meresapi meditasi yang sarat. Aliran ini mengikuti kepatuhan yang ketat terhadap aturan-aturan disiplin kewiharaan, yang membentuk pusat perhatian dari program belajarnya. Para biksu desa menyelenggarakan berbagai upacara bagi kesejahteraan penduduk setempat. Akan tetapi, pembelajaran mereka utamanya terdiri dari penghafalan naskah-naskah. Untuk tetap sejalan dengan kepercayaan budaya Thai terhadap roh, para biksu ini juga menyediakan jimat bagi para penduduk awam untuk perlindungan. Terdapat sebuah perguruan tinggi Buddha bagi para biksu, utamanya untuk melatih para biksu menerjemahkan kitab-kitab Buddha dari bahasa kuno Pali ke bahasaThai modern.

Myanmar (Burma)

Di Myanmar (Burma), rezim militer mengambil alih kendali yang ketat atas agama Buddha di bawah Kementerian Agama. Rezim ini secara membabibuta telah menghancurkan wihara-wihara tempat para pembelot berdiam, khususnya di bagian utara negara tersebut. Kini pemerintah memberikan sejumlah besar uang kepada para biksu yang tersisa sebagai usaha untuk memenangkan dukungan mereka dan membukam segala bentuk kecaman. Burma memiliki tradisi panjang pada penekanan yang seimbang dan setara pada meditasi dan pembelajaran, khususnya sistem “abhidharma” dari ilmu kejiwaan, metafisika, dan budi pekerti Buddha. Banyak wihara yang menganut pendekatan ini masih buka, dan penduduk awam mempertahankan iman mereka yang luar biasa. Sejak akhir abad ke-19, kemungkinan dipengaruhi oleh jajahan Britania, terdapat banyak pusat meditasi tempat biksu dan guru awam mengarahkan orang awam Burma ke dalam latihan meditasi untuk mengembangkan kewaspadaan.

Bangladesh

Di Bangladesh selatan, di bukit-bukit di sepanjang perbatasan Burma, terdapat banyak desa terpencil yang secara tradisional mengikuti aliran agama Buddha Burma. Akan tetapi, terlepas dari Burma, tingkat pemahaman dan praktik mereka agak rendah.

Laos

Di Laos, agama Buddha masih diajarkan dan dipraktikkan di wilayah pinggiran dengan sikap tradisional, tapi wihara-wihara berada dalam keadaan memprihatinkan akibat Perang Amerika-Vietnam. Orang Laos awam masih menawarkan makanan kepada para biksu saat berkeliling meminta sedekah dan mereka pergi ke wihara pada hari-hari purnama. Akan tetapi, tradisi meditasi teramat sangat lemah. Mulanya, para biksu harus belajar dan mengajarkan Marxisme, tapi kini tidak lagi. Orang-orang kini memihak komunisme hanya di bibir saja dan sekarang lebih mudah untuk menjadi seorang biksu.

Kamboja

Di Kamboja, agama Buddha sedang dipulihkan setelah penghancuran dan penganiayaan yang dilakukan oleh rezim Pol Pot, dan khususnya dengan Pangeran Sihanouk kini sebagai raja, pelarangan-pelarangan perlahan mulai dilonggarkan. Akan tetapi, orang harus berumur di atas 30 atau 40 tahun untuk bisa ditahbiskan karena negara membutuhkan sumber daya manusia. Biksu Khmer kepala, Maha Ghosananda, belajar meditasi di Thailand karena praktik tersebut hampir-hampir hilang di Kamboja, dan ia sedang mencoba memulihkan praktik meditasi di sana. Aliran wihara hutan apa pun yang masih tersisa di negara tersebut cenderung lebih berkenaan dengan pencarian ilmu kanuragan, dan bukan meditasi.

Vietnam

Walau tak pernah ada penyeimbang Revolusi Kebudayaan di Vietnam, agama Buddha masih dianggap sebagai musuh negara di sana, dengan para biksu yang masih terus menentang otoritas dan kendali negara. Penahbisan adalah hal yang sukar dan banyak biksu masih dikurung di penjara. Hanya wihara-wihara boneka yang masih buka, kebanyakan untuk tujuan propaganda. Rezim pemerintah lebih longgar dengan para biksu di utara, tempat lembaga kewiharaan ada berdampingan dengan kaum komunis selama Perang Vietnam. Rezim jauh lebih curiga dan keras terhadap para biksu di selatan.

Agama Buddha Mahayana Asia Timur

Taiwan, Hong Kong, dan Wilayah Cina di Luar Negeri

Aliran Buddha Mahayana Asia Timur yang berasal dari Cina merupakan yang terkuat di Taiwan, Hong Kong, dan Korea Selatan. Taiwan memiliki masyarakat kewiharaan biksu dan biksuni yang dengan sangat baik hati didukung oleh masyarakat awam. Terdapat berbagai perguruan tinggi dan program Buddha untuk kesejahteraan sosial. Hong Kong juga memiliki masyarakat kewiharaan yang tumbuh-mekar. Pusat perhatian masyarakat Cina pendatang penganut Buddha di Malaysia, Singapura, Indonesia, Thailand, dan Filipina ada pada upacara-upacara untuk kesejahteraan para leluhur, dan untuk kemakmuran dan kekayaan bagi mereka yang masih hidup. Ada banyak medium yang melalui ini para ahli nujum Buddha berbicara dalam keadaan kesurupan dan yang menjadi tempat masyarakat awam bertanya tentang masalah kesehatan dan kejiwaan. Para pengusaha Cina yang merupakan daya dorong utama di balik ekonomi “ Macan Asia” ini kerap memberikan sumbangan pada para biksu untuk menyelenggarakan upacara bagi keberhasilan keuangan mereka.

Korea

Agama Buddha di Korea Selatan masih kuat, walaupun menghadapi tantangan yang terus berbiak dari gerakan-gerakan Kristen Evangelis. Terdapat banyak masyarakat biksu dan biksuni yang memiliki dukungan besar dari masyarakat. Secara khusus, tradisi meditasi tumbuh-mekar, khususnya Son, bentuk Zen di Korea. Sebaliknya, di Korea Utara, kecuali bagi wihara boneka yang dibuka untuk tujuan propaganda, agama Buddha mengalami penekanan yang gawat.

Jepang

Jepang memiliki banyak wihara yang keindahannya dipelihara bagi para wisatawan dan pengunjung, tapi banyak yang dikomersialkan. Walau ada juga beberapa pelaku yang serius, kebanyakan tradisi diformalkan secara ekstrem dan lemah. Dari abad ke-13, orang Jepang memiliki tradisi pendeta wihara yang menikah, dan tidak ada larangan minum tuak. Pendeta-pendeta seperti ini perlahan menggantikan tradisi biksu yang hidup membujang. Sebagian besar orang Jepang mengikuti gabungan agama Buddha dan Shinto. Mereka memiliki pendeta yang menyelenggarakan upacara dan adat Shinto untuk kelahiran dan pernikahan, dan upacara Buddha untuk pemakaman, dengan pemahaman yang tipis atas keduanya. Terdapat beberapa gerakan untuk mengadopsi cara-cara agama Buddha untuk mengurangi tekanan kerja di perusahaan-perusahaan besar, dan ada satu aliran Buddha Jepang memiliki program yang gencar membangun Pagoda Kedamaian di seluruh dunia. Ada juga sejumlah praktik pemujaan kiamat yang fanatik yang menyebut diri sebagai penganut Buddha, namun sesungguhnya sedikit sekali berkaitan dengan ajaran-ajaran Buddha Shakyamuni. Secara sejarah, beberapa aliran Buddha Jepang menganut sifat nasionalis yang ekstrem berdasarkan kepercayaan terhadap Jepang sebagai surga Buddha. Ini berasal dari pemujaan Shinto terhadap kaisar dan pentingnya rasa memiliki terhadap negara Jepang. Aliran-aliran semacam ini menetaskan partai-partai politik Buddha yang secara ekstrem memiliki sifat nasionalis dan fundamentalis.

Republik Rakyat Cina

Di Cina Dalam, yaitu di wilayah Cina Han dari Republik Rakyat Cina, sebagian besar wihara Buddha dihancurkan dan kebanyakan biksu, biksuni, dan guru terlatih dihukum mati atau dipenjara selama masa Revolusi Kebudayaan di tahun 1960-an dan 1970-an. Akan tetapi, di daerah-daerah non-Han, yaitu Tibet, Mongolia Dalam, dan Xinjiang, hal separah ini tidak terjadi. Sekarang, sejumlah besar orang Cina Han dari segala umur di Cina Dalam menaruh minat pada agama Buddha, tapi masalah utamanya terletak pada kurangnya guru. Banyak orang muda Cina menerima penahbisan kewiharaan, namun mutu mereka rendah. Kebanyakan pemuda yang berpendidikan perguruan tinggi lebih suka bekerja dan mencari uang, sementara mereka yang bergabung dengan wihara sebagian besar berasal dari keluarga miskin dan/atau tak terdidik, terutama dari daerah pedesaan. Hanya ada sedikit biksu dan biksuni lansia yang masih mumpuni, yang selamat dari penganiayaan komunis dan masih dapat mengajar; tapi tidak ada di antara mereka yang berusia paruh baya yang memperoleh pelatihan. Ada juga perguruan tinggi Buddha milik pemerintah dengan program dua sampai empat tahun di berbagai kota besar di Cina Dalam dan di situs perziarahan, dengan pendidikan politik sebagai bagian dari kurikulumnya. Secara nisbi, hanya sedikit sekali orang Cina Han yang baru ditahbiskan yang mengikuti pendidikan ini.
Secara umum, tingkat pendidikan agama Buddha sangat rendah di wihara-wihara Cina Han. Saat ini, orang memusatkan perhatian terutama pada pembangunan-ulang fisik—w ihara, pagoda, patung, dan seterusnya—dan ini membutuhkan curahan waktu dan tenaga bagi penggalangan dana dan gedung. Dalam beberapa hal, pemerintah Cina membantu mendanai pembangunan. Hasilnya, banyak wihara Buddha kini dibuka sebagai museum atau daya tarik bagi wisatawan, dengan para biksu menjadi pemungut tiket dan penghuni wihara. Hal ini menciptakan topeng “kebebasan agama”, sebuah citra yang dicari oleh pemerintah Beijing. Akan tetapi, sebagian besar pembangunan dibiayai oleh penduduk setempat, terkadang dengan bantuan dermawan asing, dan sering juga oleh para biksu sendiri. Beberapa praktik pemujaan leluhur yang dilakukan di wihara sebelum penganiayaan komunis kini dipulihkan kembali. Akan tetapi, ada beberapa wihara Cina di beragam bagian di Cina Dalam yang aktif dan memiliki tingkat belajar dan praktik yang lumayan.

Agama Buddha Mahayana Asia Tengah

Orang Tibet dalam Pengasingan

Di antara seluruh aliran Tibet di Asia Tengah, yang terkuat adalah yang bersama masyarakat pengungsi Tibet di sekitar Yang Mulia Dalai Lama dalam pengasingan di India sejak kebangkitan rakyat melawan pendudukan militer Cina di Tibet pada 1959. Mereka telah membuka kembali sebagian besar wihara utama Tibet, dan mereka memiliki program pelatihan penuh bagi para biksu sarjana, dan ahli dan guru meditasi. Terdapat juga sarana pendidikan, penelitian, dan penerbitan untuk melestarikan seluruh unsur dari tiap aliran agama Buddha Tibet.
Orang-orang Tibet dalam pengasingan telah membantu mendayakan kembali agama Buddha di daerah Himalaya di India, Nepal, dan Butan, termasuk Ladakh dan Sikkim dengan mengirimkan para pengajar dan meneruskan kembali silsilahnya. Banyak biksu dan biksuni dari daerah-daerah ini menerima pendidikan dan pelatihan mereka di wihara-wihara para pengungsi Tibet.

Nepal

Walau aliran Buddha Tibet dianut oleh masyarakat Sherpa di Nepal timur dan oleh para pengungsi Tibet di bagian tengah negara tersebut, bentuk tradisional dari Buddha Nepal, sampai pada batasan tertentu, masih dianut oleh orang-orang Newari yang tinggal di Lembah Kathmandu. Mereka, mengikuti campuran bentuk akhir India Mahayana dan Hindu, adalah satu-satunya masyarakat Buddha yang mempertahankan pembedaan kasta di dalam wihara. Sejak abad ke-16, para biksu diizinkan untuk menikah dan terdapat sebuah kasta keturunan di antara mereka: penjaga wihara dan pemimpin upacara agama. Mereka yang menyelenggarakan acara-acara ini harus berasal dari kasta-kasta ini.

Tibet

Keadaan agama Buddha di Tibet sendiri, yang oleh Republik Rakyat Cina telah dibagi ke dalam lima provinsi, yaitu Tibet, Qinghai, Gansu, Sichuan, dan Yunnan, masih suram. Dari 6.500 wihara yang ada sebelum 1959, hanya tinggal 150 yang tidak dihancurkan, sebagian besar sebelum Revolusi Kebudayaan. Sebagian besar biksu terdidik dihukum mati atau tewas di kamp konsentrasi, dan kebanyakan biksu pada umumnya dipaksa menanggalkan jubah mereka. Mulai tahun 1979, Cina mengizinkan Tibet membangun kembali wihara-wihara mereka, dan saat ini banyak yang sudah dibangun ulang. Pemerintah Cina membantu pembangunan beberapa dari wihara tersebut, tapi kebanyakan wihara dibangun atas usaha dan pendanaan para biksu, penduduk setempat, dan orang-orang Tibet yang berada di pengasingan. Ribuan orang muda menjadi biksu dan biksuni, tapi kini pemerintah Cina sekali lagi memberlakukan batasan dan larangan yang sangat merugikan. Banyak mata-mata polisi dan pemerintah menyamar sebagai biksu dan tetap dengan ketat mengawasi wihara. Biksu dan biksuni sering memimpin protes melawan kebijakan-kebijakan Cina yang menekan hak asasi manusia, menuntut otonomi sejati dan kebebasan beragama.
Usaha otoritas komunis Cina untuk mengendalikan agama Buddha di Tibet telah mengemuka dengan tujuan utama menemukan reinkarnasi Panchen Lama. Panchen Lama pertama, hidup di abad ke-17, adalah pembimbing Dalai Lama Kelima dan dianggap sebagai pemimpin iman tertinggi kedua setelah Dalai Lama di antara orang Tibet. Setelah kematian seorang Dalai Lama atau Panchen Lama, penerus dipilih ketika seorang anak dikenali sebagai reinkarnasi pendahulunya. Anak ini dicari dengan mencari keterangan dari ahli nujum dan diuji secara menyeluruh ketepatan ingatannya atas orang dan hal-hal dari kehidupan lampaunya.
Walau para Dalai Lama, sejak yang Kelima, telah menjadi pemimpin iman dan pemimpin sementara Tibet, para Panchen Lama tidak pernah memegang jabatan politis. Akan tetapi, sejak awal abad ke-20 Cina telah mencoba, walau gagal, untuk membagi dua masyarakat Tibet dengan mendukung Panchen Lama sebagai lawan politis bagi Dalai Lama.
Kaum Manchu, masyarakat Cina non-Han dari Asia barat daya, memerintah Cina dari pertengahan abad ke-17 sampai awal abad ke-20. Mereka mencoba merebut kesetiaan rakyat Mongol dan Tibet terhadap ruang pengaruh kekaisaran mereka dengan memberi dukungan kulit-luar pada agama Buddha Tibet, walau selalu mencoba mengakali dan mengendalikan lembaga-lembaga agama Buddha dan mengubah pusat bobot lembaga tersebut dari Lhasa ke Beijing. Pada pertengahan abad ke-18, mereka menyatakan bahwa hanya kaisar Manchu yang memiliki wewenang untuk memilih dan mengakui reinkarnasi Dalai Lama dan Panchen Lama dengan cara menarik undi dari sebuah guci emas. Rakyat Tibet mengabaikan pendakuan mereka ini; pilihan Panchen Lama selalu dikukuhkan oleh Dalai Lama.
Pemerintah komunis Cina secara terang jelas bersifat ateistis, seharusnya tidak mencampuri urusan agama dan telah mencela sepenuhnya seluruh kebijakan dinasti-dinasti kekaisaran yang pernah memerintah Cina. Namun pada 1995, pemerintah yang sama ini menyerukan sendiri bahwa pewaris sah kaisar Manchu memiliki wewenang untuk mencari dan mengenali reinkarnasi Panchen Lama Kesepuluh yang telah meninggal pada 1989. Ini terjadi segera setelah biksu kepala wihara Panchen Lama menemukan reinkarnasi tersebut dan Dalai Lama secara resmi memberi pengakuan pada anak laki-laki itu. Kemudian, anak itu beserta keluarganya dibawa ke Beijing dan tak ada kabar tentang mereka setelah itu; biksu kepala tadi dipenjara, dan wihara Panchen Lama kemudian berada di bawah kendali ketat pemerintah komunis. Otoritas Cina lalu memerintahkan seluruh guru Lama tinggi untuk berkumpul di sebuah upacara untuk memilih reinkarnasi Panchen Lama mereka sendiri. Kemudian, Presiden Cina bertemu dengan anak laki-laki berumur enam tahun itu dan memerintahkannya untuk setia pada partai komunis Cina.
Selain campur tangan pemerintah Cina, masalah utama yang dihadapi umat Buddha di Tibet adalah kurangnya guru yang memadai. Hanya sedikit sekali jumlah guru tua yang selamat dari masa penganiayaan komunis dan beberapa guru yang tersedia hanya menerima pelatihan selama dua atau maksimal empat tahun dengan kurikulum yang sangat terbatas di perguruan tinggi agama Buddha milik pemerintah yang dibangun lewat usaha mendiang Panchen Lama. Walau secara umum terdapat lebih banyak pembelajaran yang dilakukan dibanding di Cina Dalam, banyak wihara di Tibet yang dibuka sebagai objek wisata dan para biksu harus bekerja sebagai pemungut tiket dan penghuni wihara. Penduduk awam umumnya memiliki iman yang kuat, namun sebagian besar muda-mudi merosot akhlaknya oleh parahnya pengangguran karena perpindahan besar penduduk Cina Han dan melejitnya pasokan minuman keras murah, heroin, pornografi, dan meja biliar untuk judi dari Cina Dalam.

Turkistan Timur (Xinjiang)

Sebagian besar wihara milik rakyat Mongol Kalmyk yang tinggal di Turkistan Timur (Xinjiang) dihancurkan selama Revolusi Kebudayaan. Beberapa di antaranya kini telah dibangun kembali, namun keadaan kekurangan guru di sana bahkan lebih parah daripada di Tibet. Banyak biksu muda baru yang menurun semangatnya karena kurangnya sarana belajar dan banyak dari mereka pergi meninggalkan wihara.

Mongolia Dalam

Bagaimanapun juga, keadaan terburuk bagi umat Buddha Tibet di bawah kendali Republik Rakyat Cina terjadi di Mongolia Dalam. Sebagian besar wihara di belahan barat dihancurkan selama masa Revolusi kebudayaan. Di belahan timur, yang dulu merupakan bagian dari Manchuria, banyak wihara dihancurkan oleh serdadu Stalin di akhir Perang Dunia Kedua saat Rusia membantu membebaskan Cina Utara dari Jepang. Revolusi Kebudayaan memberi sentuhan akhir bagi peluluh-lantakan itu. Dari 700 wihara yang dulu ada di Mongolia Dalam, hanya 27 yang tersisa. Akan tetapi, tidak seperti di Tibet dan Xinjiang, hampir tidak ada usaha untuk membangun-ulang wihara-wihara tersebut. Ada arus deras masuknya pemukim Cina Han dan juga pernikahan silang yang menyebabkan banyak penduduk Mongol, khususnya di kota, tipis minatnya terhadap bahasa, budaya leluhur, dan ajaran Buddha mereka. Beberapa wihara dibuka sebagai objek wisata dan terdapat segelintir biksu muda, tapi mereka hampir tidak menerima pelatihan. Di wilayah yang teramat terpencil di gurun Gobi, satu atau dua wihara ada tersisa, dengan para biksunya yang masih menyelenggarakan upacara tradisional. Tapi tidak ada yang berumur di bawah tujuh puluh tahun. Tidak seperti di daerah-daerah Tibet, yang padang rumputnya kaya dan kaum nomad memiliki sumber daya untuk mendukung pembangunan-ulang wihara dan menafkahi biksu-biksu baru, kaum nomad gurun Gobi di Mongolia Dalam yang masih beriman adalah orang-orang yang teramat sangat miskin.

Mongolia

Di Mongolia sendiri (Mongolia Luar), dulu terdapat ribuan wihara. Seluruhnya dihancurkan sebagian atau seluruhnya pada tahun 1937 atas perintah Stalin. Pada 1946, satu wihara dibuka kembali sebagai wihara boneka di Ulaan Baatar, ibukota, dan pada awal 1970-an perguruan tinggi tempat pelatihan lima-tahun bagi para biksu dimulai di sana. Perguruan tinggi tersebut menerapkan kurikulum yang sangat ringkas, dengan penekanan berat pada kajian Marxis. Para biksu diizinkan menyelenggarakan upacara dalam jumlah yang terbatas bagi masyarakat yang dengan teliti dipertanyakan oleh otoritas pemerintah. Dengan jatuhnya komunisme pada 1990, ada usaha pemulihan yang gencar dilakukan terhadap agama Buddha dengan bantuan dari orang Tibet di pengasingan di India. Banyak biksu baru dikirim ke India untuk mendapatkan pelatihan dan 150 wihara telah dibuka atau dibangun kembali dengan skala yang sedang, dengan beberapa guru yang berasal dari orang Tibet di India. Tidak seperti di Tibet dimana biksu tua yang telah ditanggalkan jubahya tidak bergabung kembali ke wihara, dan hanya bekerja untuk membangun ulang dan mendukung wihara-wihara tersebut, banyak biksu tua di Mongolia yang bergabung kembali. Karena sebagian besar dari mereka belum berhenti tinggal di rumah dengan istri mereka saat malam hari dan minum vodka, ada masalah besar terkait aturan-aturan kedisiplinan para biksu.
Akan tetapi, masalah paling pelik yang dihadapi agama Buddha di Mongolia kini adalah gesitnya siar agama oleh para misionaris Gereja Mormon Amerika dan Gereja Kristen Pembabtis. Awalnya datang untuk mengajar bahasa Inggris, mereka menawarkan uang dan bantuan bagi anak-anak masyarakat di sana untuk belajar di Amerika jika mereka pindah agama. Mereka membagikan secara gratis buku kecil tentang Yesus yang dicetak bagus dan ditulis dengan bahasa Mongol sehari-hari; mereka juga mempertontonkan film. Kaum Buddha tak mampu menyainginya. Belum ada buku tentang ajaran Buddha yang ditulis dalam bahasa sehari-hari, hanya yang klasik, hampir tak ada orang yang mampu membuat terjemahannya, dan tak ada pula uang untuk mencetak seandainya pun buku-buku itu bisa dibuat. Maka orang-orang dan kaum cendikiawan muda semakin terseret menjauh dari agama Buddha, menuju Kristen.

Rusia

Ada tiga daerah Buddha Tibet tradisional di Rusia: Buryatia di Siberia dekat Danau Baikal, Tuva juga di Siberia utara dari Mongolia barat, dan Kalmykia ke arah barat laut Laut Kaspia. Orang-orang Buryatia dan Kalmykia adalah orang Mongol, sementara orang Tuva adalah orang Turki. Seluruh wihara di tiap tiga wilayah ini, kecuali tiga yang hanya dirusak di Buryatia, dihancurkan sepenuhnya oleh Stalin pada tahun 1930an akhir. Pada 1940-an akhir, Stalin membuka kembali dua wihara boneka di Buryatia di bawah pengawasan ketat KGB. Para biksu yang telah dipaksa menanggalkan jubahnya mengenakan kembali jubah mereka sebagai seragam selama siang hari dan melaksanakan beberapa upacara. Beberapa dari mereka pergi belajar ke perguruan tinggi pelatihan di Mongolia. Setelah komunisme jatuh pada 1990, ada pemulihan besar terhadap agama Buddha di seluruh tiga daerah ini. Orang-orang Tibet di pengasingan mengirim para guru dan biksu muda yang baru mendapat pelatihan di wihara-wihara Tibet di India. Kini terdapat tujuh belas wihara yang dibangun kembali di Buryatia. Seperti di Mongolia, ada juga masalah terkait minuman keras dan para biksu yang dulu merupakan biksu yang beristri. Tapi tidak seperti di Mongolia, para biksu ini tidak mendaku diri sebagai biksu yang hidup membujang. Sedang berjalan pula rencana untuk membuka wihara-wihara di Kalmykia dan Tuva. Para misionaris Kristen juga giat di tiga daerah ini, tapi tidak sekuat di Mongolia.
Minat yang besar terhadap ajaran Buddha Tibet juga tumbuh di antara orang Asia penganut Buddha dari aliran lain. Banyak guru Tibet diundang dari masyarakat di pengasingan di India untuk mengajar di Asia Tenggara, Taiwan, Hong Kong, Jepang, dan Korea. Orang-orang mendapati penjelasan yang jernih dari ajaran Buddha yang ditemukan pada aliran Tibet merupakan asupan berguna bagi pemahaman akan aliran mereka sendiri. Orang-orang juga tertarik pada upacara Tibet yang rinci untuk kemakmuran dan kesehatan.

Negara-Negara yang Secara Tradisional Bukan Penganut Buddha

Seluruh bentuk aliran Buddha juga ditemukan di negara-negara yang secara tradisional bukan penganut Buddha di seantero dunia. Ada dua kelompok besar yang terlibat: para imigran Asia dan para pelaku non-Asia. Imigran Asia, khususnya di Amerika Serikat dan Australia, memiliki banyak wihara etnis. Hal ini juga terjadi pada skala yang lebih kecil di Kanada, Brazil Peru, dan beberapa negara Eropa Barat lain, khususnya Prancis. Titik berat utamanya ada pada praktik kebaktian dan penyediaan pusat masyarakat untuk membantu masyarakat imigran memelihara jati diri budayawi dan kenegaraan mereka.
“Pusat Dharma” Buddha dari seluruh aliran kini dapat dijumpai di lebih dari delapan puluh negara di sekeliling dunia di setiap benua. Pusat Dharma ini kerap dikunjungi oleh orang-orang non-Asia dan laku yang ditekankan di sana adalah meditasi, pembelajaran dan praktik upacara. Sebagian besar pusat ini berasal dari aliran Tibet, Zen, dan Theravada. Para guru di pusat-pusat ini merupakan orang-orang Barat dan juga penganut Buddha dari Asia. Jumlah terbesar dijumpai di Amerika Serikat, Prancis, dan Jerman. Para murid yang serius sering mengunjungi Asia untuk mendapatkan pelatihan yang lebih mendalam. Lebih jauh, terdapat program studi agama Buddha di berbagai perguruan tinggi di seluruh dunia dan tumbuh pesat pula percakapan dan pertukaran gagasan di antara agama Buddha dan agama lain, ilmu pengetahuan, ilmu kejiwaan, dan ilmu kedokteran. Yang Mulia Dalai Lama berperan amat penting dalam hal ini.

0 komentar:

Posting Komentar